REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Siapa bilang
Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun? Bohong. Itu hanya mitos yang
dibesar-besarkan politisi kolonial dan kemudian dilanggengkan pemerintah lewat
buku pelajaran sekolah. Belanda, negeri kecil di Benua Eropa itu paling banter
hanya menjajah wilayah Indonesia tak lebih dari 40 tahun. Itu pun dengan
catatan luas wilayah Indonesia yang berbeda dari sekarang. Dalam
buku ini, G.J Resink ahli hukum keturunan Jawa-Belanda mengkaji kembali fakta
historis kedudukan Hindia Belanda di Indonesia pada kurun abad ke-19 hingga
ke-20. Lewat berbagai bukti, Resink secara gamblang menelanjangi kesalahpahaman
yang kerap dikemukakan orang tentang masa kekuasaan kolonialisme Belanda di
Indonesia.
Menurut Resink, berlarut-larutnya mitos penjajahan selama 350 tahun karena 'kemalasan' para peneliti mencari sumber-sumber sejarah baru. Kebanyakan peneliti sejarah hanya mengofirmasi tulisan pada buku sejarah yang terbit di zaman kolonial. Padahal, tulisan sejarah kala itu dibuat untuk kepentingan pemerintah kolonial. Resink menganjurkan pembaca lebih kritis membaca mitos penjajahan selama 350 tahun. Sebab kerajaan-kerajaan yang ada di kepulauan Nusantara sangat banyak jumlahnya. Dimana masing-masing kerajaan, memiliki hubungan politik dan hukum yang berbeda dengan penguasa kolonial Hindia Belanda.
Dalam
tulisan berjudul 'Pernyataan-pernyataan yang Diabaikan' misalnya, Resink
mengemukakan pemerintah tertinggi di Belanda (Mahkota Kerajaan Bersama
Parlemen) dalam regeeringsreglement (Peraturan Tata Pemerintahan) Pasal 44
tahun 1854, memberi wewenang kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk
mengumumkan perang, mengadakan perdamaian, serta membuat perjanjian dengan
raja-raja dan bangsa-bangsa di Kepulauan Nusantara. Bagi Resink peraturan itu
merupakan bukti adanya pengakuan pemerintah kolonial terhadap negeri-negeri di
Nusantara yang masih merdeka. “Mengenai pasal tersebut parlemen Belanda
menyimpulkan adanya raja-raja yang merdeka di Hindia Belanda,” tulis Resink di
halaman 64.
Bukti
masih adanya negeri merdeka juga diperlihatkan Resink ketika Pengadilan Hindia
Belanda di Surabaya tidak bisa mengadili kasus hukum seorang warga Kutai pada
1904. Hal ini, kata Resink terjadi lantaran Kutai merupakan kerajaan dengan
daulat hukum sendiri. Contoh lain adalah Atlas resmi yang dikeluarkan
Kementerian Urusan Tanah Jajahan pada 1887–1907. Atlas tersebut mencantumkan
masih adanya negeri merdeka di Sumatera seperti Kerinci, Dalu-dalu, Rokan, dan
Tanah Batak.
Resink
menyatakan, Belanda mengakui sejumlah negeri di nusantara setara dengan Hindia
Belanda lewat perjanjian contractueele bondgenooten, negeri-negeri itu
misalnya: Soppeng, Gowa, Torete, Bone, Wajo-Luwu, dan Baikonka. Selain itu, ada
juga negeri yang tidak mengikat diri dalam perjanjian dengan Pemerintah Hindia
Belanda seperti Aceh dan kesultanan-kesultanan di Indonesia Timur. Seorang
politikus dan anggota Parlemen Belanda, van Kol pada 1904 pernah
mengatakan, “Kontrak (yang ditandatangani raja-raja dengan Belanda) lebih
bersifat perjanjian perdamaian, persahabatan dan persekutuan yang abadi daripada
suatu tanda penundukan."
Selain
faktor pengabaian bukti-bukti hukum sebagai sumber sejarah, Resink juga
menyatakan mitos penjajahan selama 350 tahun terus berakar karena kekeliruan
peneliti membayangkan citra nusantara pada masa lalu dengan sekarang. Pada
tulisan berjudul 'Dari Debu Sebuah Penghancuran Citra Yang Diagungkan'
misalnya, Resink menyatakan peta sejarah kekuasaan Belanda atas Nusantara
seharusnya tidak lagi digambarkan satu warna seragam. Melainkan dilukiskan
dengan banyak nuansa, berdasarkan kuat atau lemahnya ikatan ketergantungan
negeri dan tanah masing-masing kepada pemerintah Batavia.
Buku
ini memuat 14 tulisan Resink yang berisi catatan kritis mengenai sejarah
penjajahan Belanda di Indonesia. Dalam setiap argumentasinya, Resink menyiapkan
segudang sumber, terutama arsip-arsip hukum kolonial. Sumber-sumber ini membuat
simpulan yang diciptakan Resink bukan saja fokus dan kokoh, tetapi juga penuh
vitalitas dalam memperlihatkan wilayah-wilayah Indonesia yang berdaulat selama
kekuatan kolonial bercokol.
Pada
akhirnya menghapus sebuah mitos sejarah bukanlah kerja gampang. Mitos berkaitan
erat dengan proses berpikir masyarakat terhadap sesuatu maupun seseorang yang
telah berlangsung lama. Dalam konteks tersebut, kerja keras Resink yang
tercemin lewat buku ini patut dihargai. Resink berhasil menawarkan cara baru
membaca sejarah kolonialisme di nusantara yang selama ini menjadi mitos yang
nyaris tak tergoyahkan. Selamat membaca!.
Redaktur: Karta Raharja Ucu
Penulis : G.J. Resink
Penerbit: Komunitas Bambu
Terbit: Maret 2012
Tebal : xxxiv + 366 halaman
Penerbit: Komunitas Bambu
Terbit: Maret 2012
Tebal : xxxiv + 366 halaman
No comments:
Post a Comment